Salam jurnalis!!
Ketika kita mulai membicarakan soal kelayakan, maka secara otomatis kita akan bergerak mempersoalkan kemampuan. Kemampuan yang layak untuk melakukan sesuatu. Kemampuan untuk menghasilkan, menelurkan sebuah karya.
Saya percaya bahwa kemampuan bisa didapatkan dari dua sumber, yaitu talenta dan skill ‘ketrampilan’. Beberapa orang yang beruntung dikaruniai talenta atau bakat yang sudah mengalir dalam darah mereka sejak lahir. Kebanyakan talenta didapatkan dari keturunan, peran gen manusia yang cenderung mewariskan sifat-sifat induk kepada anaknya. Mereka hanya tinggal mengasah bakat tersebut dan jadilah mereka seorang profesional dalam bidangnya. Orang bertalenta memiliki kemampuan mempelajari sesuatu sesuai talent-nya lebih mudah daripada mereka yang tidak memiliki talenta tersebut. Ambil saja contoh Gita gutawa, penyanyi remaja yang terkenal dengan suara soprannya. Bakat musiknya sudah mendarah daging dalam dirinya sejak kecil mengingat ayahnya, Erwin Gutawa, juga musikus terkenal di Indonesia.
Bagaimana dengan skill atau ketrampilan? Ketrampilan adalah sesuatu yang diperoleh dengan mempelajari atau melatih sesuatu secara terus-menerus hingga melahirkan sebuah keahlian atau profesionalitas. Contohnya penjahit yang setiap harinya memotong, mengukur, dan menjahit kain akan memiliki skill menjahit. Pemotong daging ayam di pasar yang setiap pagi bekerja dengan pisau dan daging, akan ahli memotong. Untuk mendapatkan skill yang setara dengan bakat diperlukan ekstra kerja keras dalam berlatih, pantang menyerah, dan tidak takut untuk gagal.
Begitu juga dengan jurnalis. Saya lebih suka menggolongkan jurnalis sebagai pekerjaan yang ber-skill daripada bertalenta. Mengapa? Karena untuk menjadi jurnalis yang profesional lebih dibutuhkan latihan keras daripada bakat. Semua orang layak menjadi jurnalis jika ia berani bekerja keras, memerah darah dan keringat demi menjadi kuli tinta tersebut. Jurnalis tidak hanya membutuhkan bakat menulis atau memotret sebuah peristiwa, namun juga membutuhkan ketrampilan yang didapat dari berlatih. Untuk menjadi jurnalis, kita harus berani menghadapi apaun, resiko sebesar apapun bahkan siap untuk meregang nyawa untuk mengamalkan tugas mulia sebagai penggali informasi.
Menurut saya jurnalis adalah pekerjaan yang sangat bersahaja. Jurnalis adalah mata bagi dunia akan sebuah peristiwa. Informasi tersebar dalam hitungan detik karena jurnalis. Jurnalis juga berperan besar atas kemajuan dunia dan perkembangan masyarakat. Siapa yang akan tahu bahwa perkembangan pesat teknologi Amerika Serikat jika buka jurnalis yang menyebarkannya sehingga dunia berlomba-lomba untuk beajar dari Amerika? Siapa yanng akan tahu akan tsunami berkekuatan super di Jepang jika bukan jurnalis yang merekamnya sehingga dunia beramai-ramai menawarkan bantuan pada Negeri Sakura itu? Lihat betapa tangan jurnalis mengambil peran besar atas detak jantung dunia.
Delapan hari kalian berjuang di Smanisda bukanlah sebuah kesia-siaan. Kesana-kemari kalian memburu berita, mengejar narasumber, pulang larut untuk melengkapi data, bukanlah tidak menghasilkan apa-apa. Sungguh bukan pilihan bijak jika kalian berhenti sampai di garis ini. Ini merupakan sebuah awal.
Shika Arimasen Michi
Koordinator Regions JBC